Kesehatan
Tafakur: Ibadah dan Terapi Mental dari Perenungan Hati
Di tengah riuhnya kehidupan modern, kita sering merasa terputus dari diri sendiri. Pikiran dipenuhi daftar tugas, notifikasi yang tak pernah berhenti, dan kekhawatiran yang menggerogoti. Di sinilah tafakur hadir, bukan hanya sebagai praktik spiritual, tapi juga sebagai sebuah kebutuhan mendesak. Ia menawarkan solusi yang menyentuh inti dari permasalahan manusia: kelelahan batin. Lebih dari sekadar renungan, tafakur adalah sebuah praktik yang menyatukan ibadah dan terapi mental dalam satu waktu.
Tafakur: Ibadah Hati yang Dilupakan
Secara esensial, tafakur adalah sebuah ibadah. Ia merupakan amalan hati yang mendalam, di mana kita menggunakan akal untuk merenungkan kebesaran Allah. sesuai dengan firman-Nya Surah Ali Imran ayat 190:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Artinya, “Mereka adalah orang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring. Mereka merenungkan penciptaan langit dan bumi.”
Ayat ini menunjukkan bahwa tafakur bukanlah amalan yang terpisah dari zikir, melainkan bagian tak terpisahkan dari pengabdian. Dengan bertafakur, kita menyadari betapa kecilnya diri di hadapan Sang Pencipta. Kesadaran ini menumbuhkan rasa rendah hati dan memperkuat keimanan, membuat setiap ibadah terasa lebih bermakna. Tafakur adalah cara kita memenuhi panggilan akal dan hati untuk mengenal Allah.
Tafakur: Terapi Mental yang Tak Tergantikan
Dalam konteks psikologi, tafakur adalah praktik mindfulness yang paling otentik. Saat pikiran kita tenang dan fokus pada satu objek perenungan, entah itu keagungan alam atau karunia nikmat kehidupan, pikiran kita berhenti melompat dari satu kekhawatiran ke kekhawatiran lain. Proses ini secara ilmiah terbukti mampu menurunkan kadar hormon stres (kortisol) dan meningkatkan produksi hormon bahagia (serotonin).
Namun, tafakur lebih dari sekadar meditasi. Ia tidak bertujuan untuk mengosongkan pikiran, melainkan untuk mengisinya dengan kesadaran dan rasa syukur. Merenungkan nikmat-nikmat Allah secara tulus dapat menggeser perspektif kita dari kekurangan menjadi kelimpahan, yang secara otomatis memicu perasaan tenang dan bahagia. Inilah mengapa tafakur menjadi terapi yang tak tergantika, ia menyembuhkan batin dengan menghubungkannya pada sumber segala kebaikan.
Argumentasi
Untuk membantu kita mempraktikkan amalan ini, para ulama, termasuk Syekh M. Nawawi Banten, membagi tafakur ke dalam lima jenis yang bisa kita terapkan setiap hari sebagai amal tambahan:
1. Merenungi Ayat-ayat Allah: Bukan hanya dari Al-Qur’an, tapi juga dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Ketika kamu melihat sebuah pohon tumbuh dari biji kecil, renungkanlah bagaimana Allah memiliki kuasa untuk menumbuhkan kehidupan dari sesuatu yang tak terlihat.
2. Merenungi Nikmat-nikmat Allah: Fokus pada hal-hal kecil yang sering kita abaikan. Di pagi hari, bersyukurlah atas nikmat bisa bernapas, dan di siang hari, syukuri nikmat air minum yang menghilangkan dahaga.
3. Merenungi Janji-janji Allah: Ini adalah motivasi terkuat untuk berbuat kebaikan. Renungkanlah janji surga dan balasan pahala untuk setiap langkah menuju masjid.
4. Merenungi Peringatan Allah: Perenungan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menjaga diri. Pikirkanlah konsekuensi dari perbuatan buruk, dan biarkan itu menjadi rem yang efektif untuk mencegahmu dari dosa.
5. Merenungi Kelalaian Diri: Ini adalah bentuk introspeksi paling jujur. Di penghujung hari, renungkanlah waktu yang terbuang sia-sia atau kata-kata yang menyakiti orang lain, lalu biarkan rasa malu itu menjadi pemantik untuk perbaikan diri di esok hari.
Sumber: Kitab Kasyifatus Saja, karya Syaikh Nawawi al-Bantani.
Sobat Jurnal yang budiman. Pada akhirnya, tafakur adalah sebuah panggilan untuk kembali pada fitrah kita sebagai manusia yang berakal. Dengan mempraktikkannya, kita tidak hanya menunaikan ibadah, tetapi juga menyembuhkan hati dan pikiran kita dari segala kepenatan.
Penulis: anugah24